✔ Pesan Sby Jelang Demo 2 Desember, Penjelasan Tuduhan Penyandang Dana Demo Ahok
Pesan SBY Jelang Demo 2 Desember, Klarifikasi Tuduhan Penyandang Dana Demo Ahok
Susilo Bambang Yudhoyono
JAKARTA – Jelang demo 2 Desember 2016 atau yang dikenal dengan istilah agresi 212, Presiden RI ke-6,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menulis artiel panjang yang dimuat di Harian Rakyat Merdeka (Grup pojoksatu), Senin 28 November 2016.
Artiel itu berisi pandangan SBY wacana situasi dan kondisi bangsa Indonesia ketika ini, mulai dari kasus Ahok hingga potensi makar yang pernah disinggung Kapolri Jenderal Tito Karnavian. SBY juga mengklarifikasi tudingan sebagai penyandang dana demo Ahok pada 4 November 2016.
Selain di Harian Rakyat Merdeka, artikel berjudul “Pulihkan Kedamaian dan Persatuan Kita” tersebut juga dimuat di Facebook Susilo Bambang Yudhoyono.
“Hari ini, Senin 28 November 2016, SBY menulis artikel berjudul “Pulihkan Kedamaian dan Persatuan Kita” di Harian Rakyat Merdeka. Pada artikel ini, Netizen akan mengetahui pandangan dan impian SBY, terutama berkaitan dengan situasi ketika ini, semoga bangsa Indonesia tetap memelihara kerukunan, kedamaian dan persatuan dalam menghadapi segala tantangan dan permasalahan bangsa,” tulis SBY di akun Facebook miliknya, Senin (28/11/2016)
Berikut ini artiel lengkap SBY yang dimuat di harian Rakyat Merdeka dan Facebook Susilo Bambang Yudhoyono.
Pulihkan Kedamaian Dan Persatuan Kita
ADA dua nasehat orang bijak yang saya ingat. Pertama, in crucial thing unity. Artinya, kita mesti bersatu jikalau menghadapi sesuatu yang penting, apalagi genting.
Kemudian, yang kedua, there will always be a solution to any problem. Maknanya, setiap kasus selalu ada solusinya. Ada jalan keluarnya. Saya rasakan kedua ungkapan ini relevan dengan situasi di negara kita ketika ini.
Bangsa Indonesia kembali menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi saya amati juga terjadi di seluruh tanah air. Yang semula isunya cukup sederhana dan sanggup dicarikan solusinya, baik secara aturan maupun non hukum, telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi rumit. Gerakan massa yang mengusung tema mencari keadilan mendapat simpati dan proteksi yang luas.
Sementara itu, pemerintah menentukan cara melaksanakan gerakan imbangan dengan tema besar menjaga kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat pemerintah ini tentulah baik, langkah ini justru memunculkan permasalahan baru.
Pernyataan penegak aturan bahwa negara akan menindak siapapun yang melaksanakan tindakan makar, yang disampaikan beberapa hari yang kemudian tampaknya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat. Apa dengan demikian negara kita menuju ke keadaan krisis?
Menurut saya tidak. Saat ini tidak akan ke sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada kini ini segera diselesaikan secara cepat, sempurna dan tuntas.
Dalam situasi menyerupai ini, secara moral saya wajib menjadi bab dari solusi. Akan menjadi baik jikalau saya ikut memberikan pandangan dan saran kepada pemimpin kita, Presiden Jokowi, semoga dia sanggup segera mengatasi kasus yang ada ketika ini. Namun, lebih dari tiga ahad ini memang saya menentukan diam. Bahkan untuk sementara saya menutup komunikasi dengan banyak sekali kalangan, termasuk para sahabat, yang ingin bertemu saya (saya mohon maaf untuk itu), dari pada kami semua kena fitnah.
Saya masih ingat ketika saya melaksanakan penjelasan atas informasi (baca: fitnah) yang hingga ke sentra kekuasaan bahwa seolah Partai Demokrat terlibat dan SBY dituduh membiayai Aksi Damai 4 November 2016, saya diserang dan “dihabisi” tanpa ampun. Tetapi, mengamati situasi yang berkembang ketika ini, saya pikirkan tak baik jikalau saya berdiam diri.
Oleh alasannya itu, melalui wahana inilah saya ingin memberikan impian dan pandangan sederhana saya wacana solusi dan tindakan apa yang layak dilakukan oleh pemerintah.
Memburuknya situasi sosial dan politik sebagaimana yang kita rasakan kini ini, bahwasanya preventable. Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan kasus utamanya di waktu kemudian kurang terbuka, kurang niscaya dan kurang konklusif.
Kebetulan sekali (unfortunately) kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan gosip agama yang sangat sensitif, yaitu berkenaan dengan kitab suci. Ketika hasilnya Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak yang saya nilai sempurna dan benar itu terlambat datangnya. Sama saja bahwasanya dengan penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too late.
Nampaknya sudah terlanjur terbangun mistrust (rasa tidak percaya) dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah ada trust deficit. Karenanya, berdasarkan pandangan saya ketika ini prioritasnya yaitu mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara. Dengan pendekatan yang bijak dan komunikasi yang nrimo dan tepat, diharapkan sanggup terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan pemerintahnya.
Mengalirkan gosip Pak Ahok ke wilayah SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala dramatisasinya berdasarkan saya menjadi kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya juga bukan permasalahan minoritas vs mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa yang amat beragam ini harus dijaga semoga jangan hingga ada ketegangan dan konflik yang sifatnya horizontal.
Ingat, dulu diharapkan waktu 5 tahun untuk mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Upaya membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan.
Masyarakat sanggup melihat bahwa dalam melaksanakan aksi-aksi protesnya para pengunjuk rasa tak mengangkat gosip agama dan juga gosip etnis. Karenanya, jangan justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik gres yang amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horizontal baik di Jakarta maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.
Sementara itu, ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional dengan tema pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di dalam negeri makin bergejolak.
Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana yang merupakan gosip HAM dan mana yang bukan. Dulu ketika saya mengemban kiprah sebagai Menko Polkam dan kemudian Presiden Republik Indonesia, isu-isu demokrasi, kebebasan serta proteksi dan pemajuan hak-hak asasi insan selalu menjadi perhatian kita. Isu-isu itu juga terus kita kelola dengan cermat, transparan dan senantiasa merujuk kepada aturan nasional dan internasional.
Menurut pendapat saya, proses aturan terhadap Pak Ahok bukanlah gosip pelanggaran HAM. Kita serahkan saja kepada penegak aturan di negeri sendiri. Biarlah para penegak aturan bekerja secara profesional, adil dan obyektif. Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan. Biarlah aturan bicara apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu pemahaman saya terhadap rule of law.
Tetapi dalam perkembangannya, baik di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa tampaknya kini mengarah ke Presiden Jokowi. Saya mengikuti banyak sekali spekulasi yang berdasarkan saya menyeramkan.
Apa itu? Muncul sejumlah skenario wacana penjatuhan Presiden Jokowi. Tak pelak pernyataan Kapolri wacana rencana makar menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Di samping ada pihak di luar kekuasaan yang berniat lakukan makar, berdasarkan rumor yang beredar, katanya juga ada aktivitas lain dari kalangan kekuasaan sendiri.
Skenario yang kedua ini konon digambarkan sebagai akhir dari adanya power struggle di antara mereka. Terus terperinci saya kurang percaya.
Pertama, ketika ini tak ada alasan yang besar lengan berkuasa untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Yang kedua, apa sebegitu nekad gerakan rakyat yang tidak puas itu sehingga harus menjatuhkan Presiden dengan cara makar.
Demikian juga, jikalau ada pihak di lingkar kekuasaan yang sangat berambisi dan tidak sabar lagi untuk mendapat kekuasaan, apa juga kini gelap mata, sehingga hendak menjatuhkan Presiden, pemimpin yang mengangkat mereka menjadi pembantu-pembantunya.
Memang kini ini namanya fitnah, intrik, memecah-belah dan pembunuhan aksara luar biasa gencarnya. Termasuk ganasnya “kekuatan media sosial” yang bekerja kolam mesin penghancur.
Banyak orang menjadi korban, termasuk saya. Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak Jokowi, misalnya. Sebagai veteran pejuang politik saya punya intuisi, pengalaman, pengetahuan dan budi bahwa banyak fitnah yang memanas-manasi Presiden semoga percaya bahwa SBY hendak menjatuhkan Presiden, tidak selalu berasal dari pihak Pak Jokowi. Luar biasa bukan?
Semua harus waspada. Jangan hingga basil di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Jangan hingga ada maling teriak maling. Jangan hingga ada yang mancing di air keruh. Mari berwaspada, jangan hingga kita mau diadu-domba. Jangan kita berikan ruang media umum yang sudah tidak civilized (tidak berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban di negeri ini.
Banyak yang beropini bahwa mesin penghancur” itu tidak selalu bermotifkan ideologi, tapi uang (money power). Saya amat murung jikalau menyimak penggunaan bahasa yang amat bernafsu dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari kelompok Sosmed tertentu.
Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua, lebih-lebih bawah umur dan berilmu balig cukup akal kita, tetapi sesungguhnya juga menghancurkan nilai-nilai luhur Pancasila. Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa kita terpecah dan saling bermusuhan.
Sementara itu, jangan hingga pula kita semua jadi korban dari permainan intelijen bohong dan buatan (false intelligence). Saya jadi ingat dulu sebelum terjadinya perebutan kekuasaan atau makar terhadap Presiden Soekarno di bulan September tahun 1965, juga diisukan ada Dewan Jenderal yang mau makar. Kemudian, yang menamakan dirinya Dewan Revolusi justru yang melaksanakan makar, dengan dalih daripada didahului oleh Dewan Jenderal.
Berbicara wacana makar, saya tetap konsisten bahwa saya tak akan pernah baiklah dengan upaya menurunkan Presiden di tengah jalan. Akan menjadi preseden yang jelek jikalau seorang Presiden yang dipilih eksklusif oleh rakyat kemudian dengan mudahnya dijatuhkan oleh sekelompok orang yang amat berambisi dan haus kekuasaan melalui konspirasi politik.
Kalau kita paham konstitusi, seorang Presiden hanya sanggup diberhentikan jikalau melanggar pasal pemakzulan (impeachment article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara seorang penguasa jatuh oleh sebuah revolusi sosial atau people’s power.
Contoh yang paling gres yaitu kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat bahwasanya people’s power dan revolusi sosial itu tak sanggup dibentuk begitu saja. Seolah-seolah seorang elit politik sanggup membuat revolusi dengan mudahnya.
Saya jadi ingat dulu ketika ada “Gerakan Cabut Mandat SBY” di masa kepresidenan saya. Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melaksanakan makar. Saya tenang dan tidak panik. Saya tahu gerakan cabut mandat itu hanyalah keinginan sejumlah elit, bukan rakyat.
Saya tetap bekerja, dan terus bekerja. Saya tak berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan rule of law, dan kemudian bertindak represif. Saya tahu tokoh-tokoh politik mana yang turun ke lapangan untuk mencabut mandat saya, tapi tak ada niat saya untuk memidanakan mereka. Gerakan yang namanya angker itu, “cabut mandat dan turunkan SBY” hasilnya cepat berlalu ….
Tentu ada sebuah pesan moral. Bagi yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, tempuhlah jalan yang benar dan halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi. Toh pada saatnya akan ada pemilihan Presiden. Sabar. Jangan nggege mongso.
Kembali kepada situasi nasional ketika ini, bagaimanapun permasalahan yang berdasarkan saya sudah menyentuh korelasi antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah damai, adil dan demokratis. Cegah jangan hingga ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan hingga ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar.
Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang sempurna dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power. Persuasi harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari pegawanegeri keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jikalau harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.
Mesti diketahui pula bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan militer ada aturannya. Pahami konstitusi dan Undang-Undang Pertahanan serta Undang-Undang TNI. Jika harus menetapkan keadaan bahaya, penuhi syarat-syaratnya. Pelajari Peraturan Pemerintah yang mengatur keadaan ancaman dan tindakan menyerupai apa yang dibenarkan jikalau negara berada dalam keadaan darurat. Cegah, jangan hingga Presiden dan para pembantunya dinilai melanggar konstitusi dan undang-undang yang berlaku.
Dalam keadaan “krisis”, semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar pegang kendali. Jangan didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi siapapun yang ingin memakai kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam masa demokrasi menyerupai kini ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai “penguasa absolut”.
Bangun korelasi yang baik dan sehat dengan dewan legislatif serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan Presiden dengan rakyat. Jangan hingga Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan Presidennya.
Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi. Saya yakin krisis yang banyak dicemaskan banyak orang itu tetap preventable.
Saya berpendapat, kini ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah memusatkan pikiran, waktu dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik. Bangun dan dapatkan solusi terbaik itu dengan banyak sekali pihak.
Langkah-langkah Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan. Jangan hanya mengejar kuantitas, tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di “belakang” Presiden, tetapi seharusnya juga meliputi mereka yang dinilai berseberangan.
Rangkullah rakyat, pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati mereka, jangan justru dibikin takut dan panas. Himbau mereka untuk tak perlu selalu menurunkan kekuatan massa jikalau hendak mencari keadilan, dengan jaminan pemerintah benar-benar menuntaskan kasus yang ada secara serius. Cegah dan batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Kaprikornus lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity….
Dalam situasi menyerupai ini, sebagai seorang yang pernah mengemban kiprah negara di masa silam, termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia dan 15 tahun bertugas di jajaran pemerintahan, saya mengajak rakyat Indonesia untuk bahu-membahu menjaga persatuan dan kebersamaan kita.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan melampaui batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan ketertiban sosial di negeri ini.
Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan kita, seberat apapun tantangan yang kita hadapi. Memang yaitu sebuah amanah jikalau rakyat menjadi gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran dan keadilan. Namun, hendaknya usaha suci itu dilaksanakan secara tenang dan senantiasa berjalan di atas kebenaran Tuhan.
Akhirnya, menutup goresan pena ini, dengan segala kerendahan hati saya ingin memberikan bahwa sebagai pemimpin, tidaklah ditabukan jikalau ingin melaksanakan introspeksi dan perbaikan-perbaikan. Hal begitu juga kerap saya lakukan dulu ketika selama 10 tahun memimpin Indonesia. Tak ada gading yang tak retak ….[***]
Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden RI ke-6
Sourche: pojoksatu.id
Belum ada Komentar untuk "✔ Pesan Sby Jelang Demo 2 Desember, Penjelasan Tuduhan Penyandang Dana Demo Ahok"
Posting Komentar