✔ Usaha Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Dalam Membentuk Negara Islam Indonesia


Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau Sekarmaji Marijan Kartosoewiryo menurutya setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Indonesia tidak sanggup eksklusif mencicipi suasana kemerdekaan yang sesungguhnya. Ini dikarenakan Indonesia harus menghadapi dan melawan musuh-musuh yang ingin merongrong kedaulatan Indonesia. Bangsa Indonesia tidak hanya menghadapi musuh dari luar yaitu Inggris dan Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali, melainkan juga musuh yang berasal dari dalam negeri. Musuh dari dalam negeri sendiri antara lain usaha pemberontakan yang dilakukan oleh golongan kiri yang didalangi orang-orang komunis di bawah pimpinan Musso yang kembali dari Uni Soviet. Pemberontakan ini pecah di daerah Madiun Jawa Timur. Selain itu, ada juga usaha dari golongan Islam yang ingin mendirikan negara Islam Indonesia di bawah komando Kartosoewirjo.

Sejak kedatangan sekutu di Indonesia, yang membonceng NICA, telah menimbulkan pertempuran terus menerus antara pihak Indonesia dengan Inggris dan Belanda. Inggris yang tidak ingin Beliaunggap sebagai musuh berusaha mempertemukan Indonesia dan Belanda dalam suatu perundingan. Tetapi Belanda yang bertekad untuk menjajah kembali Indonesia melihat Republik Indonesia sebagai penghalang utama yang harus disingkirkan dengan cara apapun. Sehingga Belanda sama sekali tidak berminat untuk mengadakan negosiasi dengan Republik.

Namun Belanda tak berdaya untuk menolak tekanan sekutu (Inggris) biar mengadakan negosiasi dengan pihak Republik Indonesia. Belanda tidak berdaya lantaran dalam operasinya di Indonesia, Belanda masih lemah dan mengandalkan dukungan pasukan Inggris. Pada jadinya Belanda tetapkan untuk meneruskan perundingan, tetapi dengan tujuan tidak untuk mencari penyelesaian. Oleh lantaran itu, Inggris mengirimkan Lord Killearn pada bulan Agustus 1946 untuk menjadi penengah. Atas jasanya tercapai perjanjian Linggajati pada tanggal 10 November.

Ketika perjanjian Linggajati ditandatangani antara Belanda dan Indonesia, Belanda mengakui kekuasaan de facto Republik atas Jawa, Sumatera dan Madura. Namun perjanjian ini dilanggar oleh Belanda dengan melaksanakan Aksi Militer Pertama. Aksi Militer Pertama menimbulkan perkara Indonesia masuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada bulan Januari 1948, tercapai suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda di atas kapal Amerika USS Renville di pelabuhan Jakarta. Ini setelah Belanda tiba kembali ke Indonesia dengan tujuan ingin menguasai Indonesia, serta pelanggaran yang dilakukan terhadap hasil keputusan Liggajati berupa Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Persetujuan di atas kapal ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut sebagai ‘garis van Mook’, suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di belakangnya. Walaupun persetujuan ini sepertinya ibarat kemenangan besar pihak Belanda, namun tindakan pihak Republik dalam mendapatkan perjanjian tersebut lebih disebabkan lantaran kurangnya persenjataan yang dimiliki oleh pemerintah Republik Indonesia pada ketika itu.

Salah satu ketentuan persetujuan Renville yang Beliau adakan antara pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda yakni bahwa pasukan Republik akan ditarik dari daerah-daerah yang resmi dikuasai Belanda. Ini berarti pembatasan wilayah Republik Indonesia di Jawa pada daerah kecil Jawa Barat sebelah barat Jakarta dan pada bagian-bagian seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pasukan republik meninggalkan hampir seluruh Jawa Barat, Jawa Tengah dari perbatasan dengan Jawa Barat kira-kira hingga Kebumen di selatan dan Semarang di utara, dan daerah Timur sebelah timur Malang.

Perjanjian Renville ini menimbulkan kekecewaan dari rakyat dan kelompok militer yang tengah melaksanakan perang gerilya. Dengan adanya keputusan untuk melaksanakan gencatan senjata dan mengakui garis demarkasi Van Mook, mereka harus menarik seluruh kekuatan militernya dari garis pertahanan Belanda. Kerugian terbesar yakni menyusutnya wilayah republik yang selama ini telah dikuasai dan diduduki oleh pasukan republik. Mereka pun harus mengosongkan kantong-kantong gerilya. Maka pasukan Siliwangi harus “hijrah” dari Jawa Barat ke Yogyakarta yang disambut oleh Jenderal Sudirman di Stasiun Tugu.

Walaupun demikian, kelompok Tentara Nasional Indonesia di bawah pemerintahan kabinet Moh. Hatta tetap mematuhi isi dari perjanjian Renville tersebut.

Kondisi politik pemerintahan Republik setelah perjanjian Renville disahkan, dimanfaatkan oleh kelompok Islamis yang tergabung dalam Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia), dengan gerakannya yang dikenal dengan gerakan Hizbullah dan Sabilillah. Hizbullah merupakan gerakan yang dibuat pada bulan Desember 1944 atas izin dari pemerintahan Jepang setelah didesak oleh Masyumi sebagai cadangan PETA (Pembela Tanah Air). Sedangkan Sabilillah merupakan gerakan yang dibuat setelah kemerdekaan, tepatnya ketika berlangsung Kongres Masyumi yang pertama di Yogyakarta. Gerakan ini dibuat untuk mendampingi gerakan sebelumnya yaitu Hizbullah. Perbedaan dari kedua gerakan ini yakni terletak pada anggotanya. Apabila gerakan Sabilillah yang gres terbentuk beranggotakan generasi tua, maka sebaliknya gerakan Hizbullah beranggotakan orang-orang yang masih muda. Gerakan berbasis Islam ini menolak untuk mematuhi hasil dari perjanjian Renville dan menentukan bertahan di Jawa Barat. Gerakan Hizbullah dipimpin oleh Zainal Abidin di daerah Baluburlimbangan dan Kurnia di daerah Cicalengka. Sedangkan gerakan Sabilillah dipimpin oleh Enoch (Enokh) di daerah Wanaraja dan Garut, serta di daerah sekitar Gunung Cepu (sebelah utara Tasikmalaya) dipimpin oleh R. Oni. Keputusan kedua gerakan tersebut yang tetap tidak mau mendapatkan hasil perjanjian Renville dan menentukan bertahan di Jawa Barat menimbulkan konflik di dalam badan partai Masyumi yang bersikap kooperatif dengan pemerintah Republik Indonesia.

Kartosoewirjo, yang semenjak terjadinya Agresi Militer Belanda I sudah menjabat sebagai wakil pengurus Besar Masyumi untuk wilayah Jawa Barat merasa sangat kecewa dan prihatin terhadap pimpinan Masyumi Pusat dan juga pemerintah Republik Indonesia. Baginya, perjanjian Renville tidak hanya menjadikan wilayah RI semakin menyusut, tetapi juga mengharuskan Pasukan Siliwangi ditarik dari Jawa Barat. Sebagai wujud rasa kekesalannya, Kartosoewirjo menolak hasil negosiasi tersebut, termasuk menolak isyarat melaksanakan long march ke Jawa Tengah. Maka, Kartosoewirjo lebih menentukan bertahan di Malangbong mengkoordinasi perlawanan bersama gerakan Hizbullah dan Sabilillah serta bergerilya dari balik gunung. Ini terang sebuah pembangkangan atas perintah yang diberikan oleh pemerintahan yang sah.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yakni nama lengkap dari tokoh penting Masyumi yang menolak hasil dari perjanjian Renville dan menentukan bertahan di Jawa Barat. Kartosoewirjo ini yang nantinya mendirikan sebuah Negara Islam di Jawa Barat tahun 1949. Beliau dilahirkan di daerah Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro pada tanggal 7 Februari 1905. Ayahnya yakni seorang mantri penjual candu di daerah Pamotan bersahabat daerah Rembang, yang Beliaungkat menjadi pegawai di bidang distribusi perdagangan candu oleh pemerintah kolonial Belanda. Pendidikan yang diperoleh dimulai pada tahun 1911 dengan masuk sekolah rakyat. Setelah ujian selesai kelas IV, Kartosoewirjo pindah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Pada tahun 1919, orang tuanya pindah ke Bojonegoro dan memasukkan Kartosoewirjo di ELS (Europeesche Legere School). Di sekolah ini Kartosoewirjo diturunkan satu kelas lantaran standar pendidikan di ELS lebih tinggi dibandingkan dengan HIS. Setelah lulus dari ELS, pada tahun 1923 Kartosoewirjo melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di Sekolah Kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Di sekolah ini terlebih dahulu Kartosoewirjo mengikuti tingkat persiapan (Voorbereidende School) selama tiga tahun. Baru kemuBeliaun pada tahun 1926 Beliau mulai kuliah utama yang sebenarnya. Sekolah Kedokteran ini hanya khusus membahas persoalan-persoakan medis. Dari sekolah ini justru Kartosoewirjo banyak terlibat dengan kegiatan organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.

Namun hanya setahun saja Kartosoewirjo kuliah di NIAS. Karena Beliau dikeluarkan dari sekolah tersebut dengan alasan bahwa Kartosoewirjo mempunyai sejumlah buku sosialis dan komunis. Buku-buku tersebut diperoleh Kartosoewirjo dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo yang merupakan wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal. Sekolah tempat ia menimba ilmu menuduh Kartosoewirjo seorang komunis lantaran ideologi ini dipandang sebagai ideologi yang sangat membahayakan. Karena imbas pamannya sangat kuat, semakin membangkitkan minat Kartosoewirjo untuk memperdalam ilmu di bidang politik. Tidak mengherankan, apabila kemuBeliaun Kartosoewirjo tumbuh menjadi seorang yang mempunyai kesadaran politik dan integritas keIslaman yang tinggi. Ini sanggup dilihat semenjak tahun 1923 Beliau sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan cowok Jong Java. Dalam organisasi ini Beliau terpilih menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Pada tahun 1925 Beliau pindah ke organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) lantaran perilaku pemihakannya terhadap agamanya, bukan pada paham nasionalisme.

Sejak berkecimpung dalam partai politik, terutama semenjak masuk menjadi anggota Partai Sarikat Islam (PSI) yang kemuBeliaun bermetamorfosis Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), hampir seluruh perhatiannya dicurahkan pada partainya tersebut. Keterlibatan dalam partai politik ini mempertemukan Kartosoewirjo dengan Oemar Said Cokroaminoto, tokoh yang kharismatik dan mempunyai pemikiran wacana harapan berdirinya negara Islam, yang menghipnotis usaha Kartosoewirjo dalam pembentukan negara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Beberapa tokoh PSII menyebutkan bahwa Kartosoewirjo merupakan seorang yang mempunyai ambisi besar untuk menjadi pemimpin. Ini sanggup dilihat setelah wafatnya Cokroaminoto. Beliau selalu berusaha untuk menanamkan pengaruhnya dalam setiap kongres partai yang menimbulkan terjadinya perpecahan dalam badan partai PSII. Perpecahan dimulai ketika terjadi perbedaan mengenai perilaku partai terhadap pemerintah kolonial. Dewan direktur di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminto) bersikap non-kooperatif terhadap pemerintah kolonial, sedangkan Dewan Partai di bawah pimpinan Agus Salim lebih bersikap terbuka dan mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Kartosoewirjo mengkritik Agus Salim pada kongres partai dan menuntut suatu penerapan politik hijrah yang tidak mengenal kompromi. Beliau menunjukan bahwa politik ini merupakan jalan tengah antara Non-Kooperatif dan Kooperatif. KemuBeliaun dinyatakan bahwa politik PSII yakni politik Islam, ibarat dijelaskan oleh Kartosoewirjo sebagai berikut :

“Yang dimaksudkan dengan politik dalam faham Partai Sarikat Islam Indonesia ialah politik Islam, politik sepanjang ajaran-ajaran Islam. Dan dari sendirinya, maka politik yang dijalankan oleh PSII ialah politik Islam. Bukan politik barat atau politik membarat! Bukan politik yang tidak ada sangkut pautnya dengan Islam dan bukan pula politik yang “Bukan politik Islam” atau politik di luar Islam”

Beliau juga menuntut biar PSII menawarkan pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, biar mereka sanggup memerintah negara mereka sendiri jikalau waktunya telah tiba.

Dari pernyataan Kartosoewirjo mengenai politik PSII dan tuntutan pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, sudah terlihat usaha-usaha awal Kartosoewirjo untuk merealisasikan cita-citanya membentuk sebuah negara sendiri yaitu negara yang berdasarkan pedoman dan ideologi Islam.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kartosoewirjo bergabung ke dalam Partai Masyumi. Partai Masyumi pada ketika itu mempunyai pengikut yang cukup besar. Di partai ini, Kartosoewirjo menjabat sebagai sekretaris I. Kartosoewirjo beropini bahwa di dalam sebuah negara demokrasi, usaha melalui partai merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kekuasaan dalam sebuah negara. Dengan kedudukannya yang cukup penting, Kartosoewirjo memanfaatkan dua gerakan yang dimiliki oleh Partai Masyumi yaitu Hizbullah dan Sabilillah untuk nantinya dijadikan tentara dalam negara Islam bentukannya. KemuBeliaun setelah terjadinya negosiasi Renville serta kekosongan tentara di Jawa Barat, Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya negara Islam Indonesia pada tahun 1949 di Jawa Barat dengan tentaranya yaitu Hizbullah dan Sabilillah.

Apabila dilihat dari tingkat pendidikan baik pendidikan umum maupun pendidikan agama yang diperoleh, terang mustahil Kartosoewirjo sanggup menjadi salah satu tokoh penting dalam organisasi Islam besar ibarat Masyumi. Karena sanggup dikatakan bahwa pendidikan Kartosoewirjo hanya setingkat Sekolah Menengan Atas pada masa sekarang. Bahkan pendidikan umumnya, hanya didapatkan di sekolah-sekolah sekuler saja. Namun kecakapan Kartosoewirjo dalam setiap organisasi yang dimasuki serta pergaulannya dengan tokoh-tokoh penting ibarat Cokroaminoto yang mendidik Kartosoewirjo menjadi seorang tokoh yang sangat kuat pada masa pemerintahan kolonial Belanda hingga kemerdekaan serta mempunyai harapan untuk mendirikan sebuah negara Islam yang pada jadinya nanti mengantarkan Kartosoewirjo mendirikan sebuah Negara Islam Indonesia di Jawa Barat.


Aktivitas Politik Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo


Melalui keanggotaan di organisasi-organisasi cowok Jong Java dan JIB, Kartosoewirjo berkenalan dengan tokoh ibarat Agus Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin PSI (Partai Sarikat Islam) yang kharismatik, yang pandangan politiknya, terutama cita-citanya akan suatu Negara Islam, dikemuBeliaun hari ternyata sangat menghipnotis jalan pikiran Kartosoewirjo.

Sejak masa mudanya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo telah menunjukkan kecenderungan yang kuat terhadap pergerakan politik Islam. Pengaruh perkembangan politik Indonesia begitu menarik perhatiannya. Untuk itu ia ulet di dalam Sarikat Islam pimpinan H.O.S. Cokroaminoto. Dari pimpinan Sarikat Islam ini, yang terbukti kemuBeliaun tempatnya belajar mengenai taktik dan usaha partai, juga tempatnya memperoleh gagasan mengenai suatu negara Indonesia yang berlandaskan Islam.

H.O.S. Cokroaminoto, tokoh politik paling kuat di zaman itu, menyadari kecenderungan serta talenta terpendam yang ada dalam diri cowok asuhannya. Maka cowok ini dibina dan dipersiapkan menjadi kader pemimpin masa depan. Dari tahun 1927 – 1929 Kartosoewirjo menjadi ajudan pribadi (aspri) Cokroaminoto dan ikut sebagai redaktur koran “Fajar Asia” yang dipimpinnya. Kartouwiryo yakni seorang jurnalis yang piawai, sehingga hanya dalam tempo setahun saja, semenjak memulai karir jurnalistiknya dari belahan korektor, reporter hingga dipercaya sebagai Hoofd Redaktur atau Pemimpin Redaksi harian “Fajar Asia”.

Dalam usia 22 tahun, Kartosoewirjo pada tahun 1929 menjadi redaktur Fajar Asia dan mulai menerbitkan artikel-artikel yang mula-mula hanya ditujukan untuk menentang bangsawan-bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Di dalam artikel-artikelnya mulai terlihat sikapnya dan pandangan politiknya yang radikal. Beliau juga menyerang Sultan Solo ketika Sultan mengadakan resepsi ulang tahunnya yang ke-64 dan hanya memperhatikan wartawan-wartawan Belanda. Tentang Sri Sultan Beliau menulis sebagai berikut :

“Rasa kebangsaan tak ada, ke Islaman pun demikian pula halnya, kendatipun ia berdasarkan titelnya menjadi kepala agama Islam, agaman kebangsaan kita di tanah tumpah darah ini. Bangsanya dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak yang lebih dari batas..., yang sudah terang dan kasatmata ialah : Bukan lantaran cinta bangsa dan tanah air..., melainkan lantaran keperluan diri sendiri belaka, keperluan yang bersangkutan dengan kesunanannya”.

Keberpihakannya dalam membela kaum pribumi juga ia tunjukkan lewat artikel-artikel lainnya di Fajar Asia. Kartosoewirjo bahkan sering memakai nama samaran – Aryo Jipang, untuk artikel-artikelnya yang sangat tajam dalam mengkritik keadaan bangsa Indonesia sekaligus berusaha membebaskannya dari penjajahan.

Dalam kongres PSIHT (Partai Sarikat Islam HinBeliau Timur) pada bulan Desember 1927 di Pekalongan, Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. KemuBeliaun diputuskan juga melalui kongres, bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia.

Pada waktu Kartosoewirjo pindah ke Malangbong pada tahun 1929, ia Beliaungkat sebagai wakil PSII untuk Jawa Barat. Karena ia tekun dan melaksanakan tapa, kiprah ini dilaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan kegairahan pengabBeliaun demi meluasnya kegiatan PSII di daerah itu.

Menurut Dijk “Sebagai seorang lulusan ELS dan “putus kuliah” sekolah kedokteran, sesungguhnya Kartosoewirjo sanggup hidup cukup bisa sekiranya Beliau mau menjadi pegawai pemerintah atau bekerja pada kantor swasta. Tetapi Beliau sepertinya lebih suka tetap miskin dan mengabdikan semua tenaga dan pikirannya bagi kehidupan partai.”

Berdasarkan catatan Kapten Suyono HW, yang menulis publikasi terbatas untuk kalangan Tentara Nasional Indonesia AD diterangkan bahwa :

“Sewaktu Sekarmaji mulai berkecimpung di dalam partai politik, terutama semenjak menjadi anggota PSII, hampir seluruh perhatiannya dicurahkan untuk kegiatan partai. Bahkan ia ternyata penganut partai yang menjadi kesayangan H.O.S. Cokroaminoto”.

Usaha Kartosoewirjo tidak berlalu begitu saja. Pada 1931 Beliau terpilih sebagai sekretaris umum PSII, dan pada 1936 menjadi wakil ketua. Tetapi pada waktu itu partai ini mengalami salah satu krisisnya yang besar, menjadi terpecah-pecah oleh percekcokan intern, yang kian bertambah. Pada mulanya Kartosoewirjo tergolong faksi yang menang, yang menimbulkan ia terpilih sebagai wakil ketua, tetapi kemuBeliaun Beliau terpaksa meninggalkan PSII.

Pada bulan Maret 1940, Kartosoewirjo tanpa sumbangan dan persetujuan PSII membuka forum pendidikan kader “Suffah” di bersahabat Malangbong. Lembaga Suffah tersebut Beliau bentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, dimana para siswanya juga bertempat tinggal di sana. Kartosoewirjo mengajar mereka berdasarkan metode H.O.S. Cokroaminoto yang berarti bahwa para siswa selain menerima pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan Islam juga dididik dalam ilmu politik.

HinBeliau Belanda terlibat dalam Perang Pasifik setelah serangan udara Jepang atas Pearl Harbour pada tanggal 8 Desember 1941. Segera setelah mendegar isu wacana serangan itu serta pernyataan perang Jepang terhadap Amerika Serikat dan Inggris, pemerintah Belanda dalam pengasingan di London menyatakan perang terhadap Jepang. Pernyataan ini disampaikan kepada Menteri Luar Negeri Jepang pada 10 Desember. Pasukan Jepang memasuki wilayah HinBeliau Belanda pada awal bulan berikutnya. Tentara HinBeliau Belanda yang tidak siap ternyata bukan imbangan bagi pasukan Jepang, dan pasukan HinBeliau Belanda pun mengalah pada 8 Maret 1942, tanpa bisa menawarkan perlawanan yang berarti.

Pada selesai tahun 1941, Kartosoewirjo divonis oleh pengadilan negeri Subang dengan eksekusi 1 ½ bulan, lantaran Beliau dituduh menjadi jasus Jepang. Beliau menjalani eksekusi di penjara Purwakarta. Lembaga pendidikan Suffah masih berjalan terus hingga masa pendudukan Jepang di Indonesia, kemuBeliaun perguruan tinggi ini ditutup dan para siswanya kembali ke kampung halaman masing-masing. Baru pada kiamat pendudukan Jepang, ketika para cowok Hizbullah menerima latihan kemiliteran di tempat ini, bekas perguruan tinggi Suffah ini kedengaran lagi namanya.

Kemu Beliaun siswa yang mendapatkan latihan kemiliteran di Institut Suffah jadinya memasuki dua gerakan gerilya Islam yang utama setelah perang, yaitu Hizbullah dan Sabilillah. Dua gerakan gerilya ini yang nantinya menjadi inti dari Tentara Islam Indonesia sebagai pasukan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat


Pembentukan Gerakan Darul Islam (DI)


Darul Islam (DI) secara harfiah berarti rumah atau keluarga Islam, yaitu dunia atau wilayah Islam. Maksudnya yakni belahan Islam dari dunia yang di dalamnya keyakinan Islam dan pelaksanaan Syariat Islam serta peraturan-peraturannya diwajibkan. Di Indonesia, kata-kata Darul Islam dipakai untuk menyatakan atau menyebut gerakan-gerakan sehabis 1945 yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan cita-citanya yaitu berdirinya Negara Islam Indonesia.

Gerakan Darul Islam tidak hanya terjadi di satu daerah, melainkan di beberapa daerah. Awalnya gerakan Darul Islam berdiri di Jawa Barat di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. KemuBeliaun muncul gerakan Darul Islam di Sulawesi Selatan (Makassar) di bawah pimpinan seorang patriot pejuang Letkol Tentara Nasional Indonesia Abdul Kahar Muzakkar. Yang terakhir yakni gerakan Darul Islam di Aceh di bawah pimpinan Daud Beureh Kartosoewirjo menjadi tokoh sentral bagi gerakan Darul Islam di Jawa Barat maupun di daerah lain lantaran ia yakni orang yang pertama kali mencetuskan inspirasi pendirian Negara Islam Indonesia dan dijadikan contoh bagi tokoh-tokoh gerakan Darul Islam lainnya.

Gerakan Darul Islam terutama gerakan Darul Islam Jawa Barat muncul dilatar belakangi oleh beberapa faktor, ibarat perbedaan visi, taktik dan taktik dalam mengusir kolonialisme Belanda yang ingin menjajah Indonesia lagi setelah Indonesia merdeka. Kartosoewirjo sebagai pemimpin gerakan, sangat menolak segala bentuk kolaborasi dengan pihak Belanda. Mulai dari Maklumat Pemerintah No. X tanggal 16 Oktober 1945, Maklumat Politik Pemerintah I November 1945, Perjanjian Linggajati, hingga Perjanjian Renville (Santosa, 2006 : 16).

Namun bukan hanya faktor-faktor di atas yang menjadi latar belakang munculnya gerakan Darul Islam. Bahkan mungkin sanggup dikatakan sebagai faktor atau alasan utama. Piagam Jakarta yang dihasilkan pada bulan Agustus 1945 oleh Panitia Sembilan awalnya telah memenuhi harapan umat Islam Indonesia semenjak mereka berjuang mengusir kolonial penjajah, yaitu penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan nilai-nilai pedoman agama Islam. Ini sanggup dilihat dari isi Preamblu (pembukaan) Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ditambah dengan disepakatinya pasal 2 ayat 4 yang menyatakan bahwa “Presiden yakni orang Indonesia orisinil dan beragama Islam”. Dengan adanya Piagam Jakarta tersebut, secara tidak eksklusif umat Islam sanggup menjalankan Syariat Islam dan pemerintahan Islam dengan maksimal.

Semua itu berubah dalam beberapa bulan kemuBeliaun. Ini dikarenakan muncul reaksi dan protes yang tiba dari banyak sekali pihak terutama golongan Katolik yang berasal dari daerah timur Indonesia. Mereka mengancam akan memisahkan diri dari Republik Indonesia apabila tujuh kata terakhir yang terdapat pada preamblu tidak dicabut. Akhirnya tujuh kata setelah kata ketuhanan pada preamblu Piagam Jakarta dihapuskan dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan dihapuskan tujuh kata pada preamblu Piagam Jakarta bagi kelompok Katolik merupakan kabar baik. Tetapi bagi umat Islam merupakan sebuah pukulan atas usaha mereka menjadikan Islam sebagai nafas bagi kemerdekaan Indonesia. Banyak tokoh Islam yang merasa kecewa dengan keputusan pemerintahan pada ketika itu antara lain Abikusno Tjokrosujoso dan terutama Kartosoewirjo yang telah usang mendambakan berdirinya negara berdasarkan asas Islami .

Sejak ketika itu, Kartosoewirjo mulai kontra dengan kebijakan-kebijakan yang Beliaumbil oleh pemerintah Republik Indonesia. Ditambah dengan perilaku pemerintah yang kooperatif dengan Belanda melalui perundingan-perundingan yang terang sangat merugikan pemerintah Republik Indonesia. Puncaknya yakni Beliaudakanya Perjanjian Renville antara Indonesia dengan Belanda pada tahun 1948 yang menimbulkan wilayah Indonesia semakin menyempit. Kartosoewirjo terang-terangan menyebutkan niatnya mendirikan Negara Islam Indonesia dengan gerakannya yaitu Darul Islam.

Pembentukan Tentara Islam Indonesia (TII)


Tentara Islam Indonesia (TII) dibuat pada tahun 1948 atau setahun sebelum diproklamamasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat . TII merupakan campuran dari banyak sekali kesatuan agresi militer yang semuanya bertujuan sama, yaitu mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Di antara faksi-faksi militer yang bergabung menjadi TII antara lain : Hizbullah, Sabilillah, DEMUI (Dewan Mobilisasi Ummat Islam), PADI (Pahlawan Darul Islam), Pasukan Elang dan bahkan disebut-sebut juga bergabungnya pasukan Jepang yang menyerah

Langkah pertama pembentukan Tentara Islam Indonesia Beliaumbil justru sebelum penarikan mundur pasukan Tentara Republik ke Jawa Tengah. Segera sehabis persetujuan Renville, Oni ( ketika itu menjabat sebagai komandan Sabilillah di daerah pegunungan sekitar Tasikmalaya) mengadakan pertemuan dengan Kartosoewirjo untuk membicarakan situasi politik dan militer pada waktu itu. Keduanya sepakat, pasukan-pasukan Islam harus tetap berada di Jawa Barat dan anggota-anggota Sabilillah dan Hizbullah yang turut mengundurkan diri harus dilucuti, dengan tenang atau dengan paksa (Pinardi, 1964 : 57). Keduanya sependapat, perlu mengadakan pertemuan yang lebih luas lagi guna menilai situasi yang berubah. Pertemuan terjadi pada tanggal 10 dan 11 Februari di Desa Pangwedusan Distrik Cisayong, dalam daerah segitiga Malangbong – Tasikmalaya – Garut. Hadir pemimpin-pemimpin organisasi Islam, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan para pemimpin Hizbullah dan Sabilillah. Keputusan yang terpenting yang Beliaumbil dalam konperensi Cisayong yakni membekukan Masyumi di Jawa Barat, membentuk pemerintah dasar di Jawa Barat dan mendirikan Tentara Islam Indonesia.

Beberapa ahad berikutnya berlangsung sejumlah konperensi, dan diuraikan pokok-pokok yang disetujui bersama di Pangwedusan. Tujuannya yaitu menawarkan bentuk yang kongkret kepada Tentara Islam Indonesia. Tidak hanya dibuat Tentara Islam Indonesia yang sebenarnya, tetapi juga sejumlah korps khusus ibarat BARIS (Barisan Rakyat Islam) dan PADI (Pahlawan Darul Islam) pun dibentuk. Markas besarnya didirikan di Gunung Cupu, pangkalan pasukan Sabilillah yang dipimpin R. Oni. R. Oni Beliaungkat menjadi komandan daerah Tentara Islam Indonesia untuk wilayah Priangan.


Sumber

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Ed. Ke-4. Jakarta : Balai Pustaka

Riklefs, M.C. 1989. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Wikipedia.com

Belum ada Komentar untuk "✔ Usaha Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Dalam Membentuk Negara Islam Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel