✔ Ghirah Umat Islam Yang Membara, Mari Bela Islam Di Negara Kita

Ghirah Umat Islam yang Membara, Mari Bela Islam di Negara Kita


Hari Jum’at kemarin, 4 November 2016 telah dilakukan agresi besar-besaran di Jakarta. Aksi itu bertajuk, “Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI”. “Aksi Bela Islam II” dengan tajuk “Ayo Penjarakan Ahok”—yang telah menista agama, menodai al-Quran, melecehkan ulama dan menghina umat Islam—ini dilakukan pada 4 November 2016, ba’da shalat Jumat di Masjid Istiqlal, dilanjutkan dengan longmarch ke Istana Presiden RI.

Di tengah penistaan Ahok terhadap Islam dan umatnya secara berulang, masih saja ada tokoh yang menyerukan supaya umat bersikap sabar dan tidak emosional (baca: marah). Padahal murka tidak selalu tercela. Dalam kondisi tertentu, murka justru terpuji. Kita sungguh menyayangkan perilaku sebagian tokoh-tokoh muslim yang tidak merespon penghinaan terhadap Islam dengan kemarahan. Justru dengan ketidaktegasan perilaku itulah, kaum muslim terus-menerus dihina.

Penghinaan terhadap Islam justru harus menciptakan umat muslim bersatu. Dengan begitu muncul ketakutan di dalam diri orang-orang yang ingin menyudutkan Islam. Tidak semua murka itu dilarang. Marah alasannya agama justru disyariatkan. Para ulama menyampaikan bahwa ada kalanya murka justru harus (wajib). Misalnya, murka atas penghinaan terhadap Rasul saw., para nabi dan ummahatul mukminin; atas penodaan terhadap al-Quran dan as-Sunnah; atas pelecehan Islam; dan atas kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.

Kata Buya Hamka, ghirah artinya menjaga syaraf diri (hlm. 3) atau cemburu (hlm. 9). Dalam bukunya itu, Buya Hamka antara lain menyebut cemburu alasannya agama. Adanya rasa cemburu ini, berdasarkan Buya, yaitu simbol masih hidupnya jiwa seorang Muslim. Artinya, kalau sudah tak ada lagi ghirah ini, kata beliau, “Ucapkanlah takbir empat kali ke dalam badan umatIslam itu. Kocongkan kain kafannya kemudian masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.”

Normalnya kita harus murka atas kondisi ini, dengan kemarahan yang benar. Kemarahan ini harus disalurkan menuju sebuah impian dan usaha untuk menciptakan suatu perubahan ke arah kebenaran. Marah sejatinya menawarkan masih adanya ghirah (cemburu, semangat).Almarhum Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, sekitar tahun 1954, pernah menuliskan buah pikirannya terkait makna ghirah ini. Goresan pena ulama yang bersahabat disapa Buya Hamka ini kemudian dicetak dalam bentuk buku tipis berjudul Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, yang pernah diterbitkan oleh Pustaka Panjimas (1984).

Kata Buya Hamka, ghirah artinya menjaga syaraf diri (hlm. 3) atau cemburu (hlm. 9). Dalam bukunya itu, Buya Hamka antara lain menyebut cemburu alasannya agama. Adanya rasa cemburu ini, berdasarkan Buya, yaitu simbol masih hidupnya jiwa seorang Muslim. Artinya, kalau sudah tak ada lagi ghirah ini, kata beliau, “Ucapkanlah takbir empat kali ke dalam badan umatIslam itu. Kocongkan kain kafannya kemudian masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” (hlm. 8).

Dalam kasus penistaan ini kita bukan hanya boleh marah, tapi harus marah. Dengan ghirah yang tetap menyala, sejatinya agresi besar-besaran umat Islam tak berhenti pada upaya menuntut kepada Pemerintah supaya para penista al-Quran semacam Ahok segera diadili. Aksi besar-besaran umat Islam harus terus dilanjutkan dengan tuntutan kepada para penguasa untuk segera menerapkan seluruh isi al-Quran (syariah Islam) secara kâffah dalam insitusi Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Hanya dengan itulah segala bentuk penelantaran dan penistaan al-Quran dapat diakhiri.  Wallahu’alam bish shawab.
Kiriman Innamaa dari Bandung
Sourche: voa-islam.com

Belum ada Komentar untuk "✔ Ghirah Umat Islam Yang Membara, Mari Bela Islam Di Negara Kita"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel