✔ Jamaluddin Afghani: Konsep Pedoman Pan Islamisme






A.   Pendahuluan
Pada kala 18-19 umat Islam terutama di Negara-negara Timur Tengah mengalami penurunan, sebaliknya, Barat beranjak maju khususnya dibidang teknologi, ekonomi, militer dan politik.  Bermula dari semangat penaklukan kembali (recongusta) tempat yang dikuasai muslim, Bangsa Barat melaksanakan penaklukan-penaklukan terhadap dunia Islam yang dibangkitkan oleh semangat keagamaan yang muncul dari perang salib, yang kemudian meningkat pada kepentingan ekonomi dan seterusnya menjadi kepentingan politik.

Penetrasi bangsa Barat ke dunia Islam dimulai dengan penetrasi pemikiran, khususnya semenjak ekspedisi Napoleon Bonaparte (1798) di Mesir, yang membawa pemikiran system pemerintahan republic dan inspirasi persamaan (nasionalisme) yang nantinya akan merongrong wibawah pemerintahan Islam. Selain itu, penetrasi pemikiran ini d tersebut didukung oleh cendikiawan muslim yang mencar ilmu di Barat, menyerupai demokrasi, persamaan hak dalam politik dan nasionalisme; waktu itu pemikiran ini ditantang keras oleh golongan ulama, hal ini menguntungkan sekaligus memudahkan bangsa Barat menjalankan misi politikmya.

Kemenangan-kemenangan politik Barat sejalan dengan kelemahan sruktur pemerintahan kesultanan dan kaum ulama yang menjalankan kiprahnya sebagai pendukung para Sultan. Para Sultan hanya berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan pribadi sedangkan rakyatnya dalam kebodohan disetiap institusi, disetiap lapisan masyarakat percaya terhadap yang ghaib telah diwarnai khurafat, keraguan, pengkultusan  tokoh-tokoh jagoan atau wali-wali bahkan pengkramatan tempat-tempat tertentu.

Dalam kondisi demikian , Afghani muncul dengan pemikiran dan gerakan Pan-Islamisme untuk menacari solusi permasalahan kondisi umat Islam dengan melaksanakan perubahan yang selama ini karam dalam kemunduran dan pergerakan untuk berdiri melawan kolonialis dan imperialis Barat.

B.   Gambaran Umum Umat Islam
a.    Kondisi Politik
Memasuki kala ke-18, kejayaan umat Islam mulai merosot, walaupun secara lahir, eksistensi imperium Islam, Baik Khilafah Usmani maupun Qajar di Iran dan Mughal di India masih diakui, namun dalam praktiknya kekuasaan dan kemakmuran masing-masing menurun. Hal ini disebabkan terjadinya disintegrasi internal yang menimbulkan merosotnya kekuasaan pusat. Perkembangan yang terjadi pada pemerintahan di banyak sekali negeri berjalan secara semi otonomi. Ini berarti sudah ada indikasi pemisahan politik masing-masing negeri dari kesatuan iternasional Islam.

Dalam waktu yang sama beberapa negeri yang tadinya kekuasaan imperium Islam berhasil direbut Imperialis Barat, menyerupai Aljazair oleh Prancis (1980), India oleh Inggris (1857) dan Mesir (1882). Menyadari semakin besarnya kekuatan Barat dibidang Militer yang bersumber dari sains, maka negeri-negeri Islam melaksanakan pembaharuan perubahan (revolusi).

Di Turki pembaharuan dimulai dari Sultan Mahmud II (1808-1838) dan penguasanya di Mesir, Muhammad Ali (1805-1848) melaksanakan kebijakan reformatif, menyerupai membuat perguruan-perguruan bagi latihan militer dan mendatangkan pelatih-pelatih eksklusif dari Eropa. Selanjutnya pembaharuan di Turki dilanjutkan oleh Sultan Abdul Majid (1839-1861) dan Sultan Abdul Hamid II (1876-1909). Salah satu perubahan yang dilakukan Abdul Hamid ialah Gerakan Tanzhimad (reorganisasi) yang meliputi pendirian lembaga-lembaga pendidikan sekuler dan sekulerisasi sekolah-sekolah agama, land reforms, menyusun struktrur organisasi gres dan penerapan peradilan tindak pidana, perdata dan dagang yang dipangaruhi aturan Barat.  Bahkan pada masa Sultan Abdul Hamid II tahun 1876, diumumkan konstitusi Perancis dan Belgia. Dengan kondisi ini, imbas paham-paham yang berkembang di Barat menyerupai Demokrasi dan Nasionalisme semangkin kuat di Turki, pada hal paham ini bertentangan dengan sistem pemerintan Turki, yaitu absolutism (kekuasaan berpusat pada Sultan).

Seiring dengan itu, sebagai salah satu akhir pembaharuan tersebut , maka berkembangla paham politik nasionalisme. Pemikiran nasionalisme ini sebagai akibat  semakin melemahnya supremasi militer dan politik Turki, sehingga beberapa wilayahnya  berhasil melepaskan diri. Disamping itu, tekanan dan desakan Negara-negara eropa membuat  imperium tersebut semakin melemah dan terancam disintegrasi.

Sedangkan Mesir, Reformasi dilanjutkan oleh Khedive Ismail, meliputi pendirian-pendirian forum pendidikan sekuler sehingga berjalan sejajar dengan lembaga-lembaga pendidikan tradisional. Disamping itu , kewenangan aturan agama dalam peradilan semakin dibatasi dan diganti dengan aturan umum yang diadopsi dari aturan Perancis (Napoleon Code) yang dilaksanakan oleh peradilan-peradilan sipil.

Disaat eskalasi acara reformasi dan usaha untuk melepaskan diri dari Turki Usmani semakin meningkat, pihak Inggris melaksanakan intervensi terhadap Mesir sehingga pada tahun 1882 Mesir berada di bawah kolonialisasi Inggris.

Di India, Pada kala ke 19, dominasi politik, ekonomi, dan militer Inggris semakin kuat. Sehingga Sultan Mughal yang bertahta di Delhi sebagai penguasa India tidak lebih dari seorang raja boneka Inggris. Dengan demikian, kekuasaan politik sultan dan kedaulatan imperium tersebut  telah berada ditagangan Inggris.

Sedangkan di Iran tahun 1794-1925 dkuasai oleh Dinasti Qajar yang beraliran Syiah. Dibawah pimpinan Nashir al-Dhin Shah (1884-1886) tidak banyak pembaharuan. Kedudukan para ulama dan kepala-kepala suku tidak banyak bergeser. Propinsi-propinsi tetap relative otonom. Meskipun pemerintahan raja bersifat despotis, raja tetap menerima pemberian ulama, mengingat imbas religi politiiknya yang kuat.

Isu-isu nasionalisme gres muncul di Iran sehabis makin menguatnya tekanan-tekanan Barat untuk mengganti system despotism dan otokratis yang dijalankan Dinasti Qajar tersebut. Usaha-usaha intervensi yang dilakukan oleh pihak Eropa waktu itu, antara lain monopoli pasar dan control atas perdagangan telah memicu terjadinya pergolakan dan sentiment nasionalisme di Iran.
b.    Kondisi Sosial
Penetrasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat terhadap dunia Islam telah mempengaruhi semangat modernisasi dan lebralisasi. Proses yang berlangsung di dunia Islam dalam kala 19 tidak hanya meliputi bidang politik dan militer saja, tetapi juga meliputi bidang hukum, pendidikan dan ekonomi. Salah satu imbas yang kentara ialah liberalisasi dalam bidang kehidupan, termasuk sekulerisasi forum keagamaan hingga tugas ulama yang semangkin menyempit. Disamping itu sekolah-sekolah bercorak agama yang sudah ada, didirikan pula sekolah-sekolah umum yang mempelajari  bahasa, astronomi, ilmu ukur, politik, kedokteran serta penyusunan kurikulum gres yang diadaptasi dengan perkembangan zaman.

Kelompok ulama mengambil perilaku oposisi terhadap pembaharuan. Kaum ulama beragapan modernisasi dan  tersebut sebagai penyebaran westernisasi dan sekularisasi, bahkan pembaharuan ini disebut bid’ah Yang mengancam otoritas ulama dan institusi agama lainnya. Dengan respon demikian, sekolah-sekolah agama jauh ketinggalan dari sekolah-sekolah umum

Dibidang ekonomi, Turki dan Negara-negara Islam lainnya tersingkir dalam kompetisi produk barang manufaktur dan industry dari Barat. Kekalahan ini menimbulkan turunnya produksi dalam negeri yang berimbas pada berkuranggnya pendapatan Negara.

c.    Kondisi Intelektual Dunia Islam
Dalam kurun kala ke-19, pemikiran-pemikiraan yang berasal dari Barat, menyerupai liberalism dan nasionalisme muncul di dunia Islam. Di Turki, pembaharuan bidang intelektual dimulai dengan pendirian sekolah-sekolah dan memasukkan pelajaran umum. Sekolah umum perta yang didirikan yaitu Galatasaray tahun 1968 yang memakai bahasa pengantar Perancis.

Di Mesir, secara garis besar terjadi pembaharuan pemikiran di banyak sekali bidang. Pada umumnya pemikiran tersebut tranformasi ide-ide dari Barat yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi Mesir. Pemikiran tersebut dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang memperoleh pendidikan eksklusif dari Barat, menyerupai Muhammad Ali Pasya (1765-1849) yang merombak sistem pendidikan, Ali Thatawi (1801-1873) yang menggelar pemikiran emansipasi wanita, dan jalan patriotisme.

Sedangkan di India, muncul pembaharu pemikiran Islam diantaranya dipelopori oleh Syah Waliullah (1746-1823) yang dilanjutkan oleh Syah Abdul Aziz (1746-1823). Pembaharuan ini diteruskan oleh Sayyid Muhammad Syahid (1786-1831).

C.    Biografi Singkat Jamalludin Afghani
Nama lengkapnya yaitu Jamaluddin al-Afgani as-Sayid Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun ia lebih dikenal dengan Jamaluddin al-Afgani. Ia merupakan seorang pemikir Islam, pelopor politik, dan jurnalis terkenal. Kebencian al-Afgani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran kaum muslimin gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, al-Afghani menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada kala ke-19 dan ke-20.

Para andal sejarah sependapat bahwa Afghani lahir tahun 1354, mengenai tempat kelahirannya ada dua versi, pendapat pertama menyampaikan al-Ghani lahir di Desa Asa Abad bersahabat Hamadan di Iran. Pendapat kedua menyampaikan al-Afhani lahir di Asad bersahabat Kurat penggalan wilayah Kabul, Ibukota Afghanistan. Perbedaan pendapat mengenai kelahiran dan asal tempat ini erat kaitannya dengan penibatan “Afghani”.

Orang tuanya berjulukan Sayyid Shard dikenal dengan gelar: Safdar al-Husaini. Nazab keturunan berafiliasi dengan Ali al-Tamizi, seorang perawi hadist, dan alhasil hingga ke Husain bin Ali ra.

Orang Syiah Iran dan Irak berpegang pada pendapat bahwa Afghani berasal dari Asad Abad Iran, dengan perkiraan penibahtan itu untuk kepentingan misi islah (pembawa) perubahan besar.

Adapun orang Suni berpegang pada pendapat Afghani berasal dari Afghanistan, bermahzab Suni. Pendapat ini dikokohkan dengan pendapat murid dan sahabat Afghani yaitu Muhammad Aduh.

Pendidikan dasar ia peroleh di tanah kelahirannya. Pada usia 8 tahun Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa. Lalu ia melanjutkan pendidikannya di Kabul dan Iran. Ia tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Ia tekun mempelajari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil-safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Ketika berada di Kabul, hingga umur 18 tahun, ia mempelajari beberapa cabang ilmu keislaman disamping filsafat dan ilmu eksakta.


Kemudian ketika berada di India dan tinggal di sana lebih dari satu tahun, ia mendapatkan pendidikan yang lebih modern. Di India, al-Afgani memulai misinya membangkitkan Islam. Kala itu India berada di bawah kekuasaan penjajahan Inggris. Pada ketika perlawanan terjadi di seluruh India, al-Afgani turut ambil penggalan dengan bergabung dalam perang kemerdekaan India di tahun 1857.

D.   Jalan Perjuangan Jamaluddin Afghan
Jamaluddin Afghani yaitu seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara Islam ke negara Islam lain.  Di tahun 1864 ia menajdi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri. Dalam pada itu Inggris telah mulai mencampuri soal politik dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Afghani menentukan pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869.

Di India ia juga merasa tidak bebas bergerak lantaran negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris, dan oleh lantaran itu ia pindah ke Mesir di tahun 1871. Ia menetap di Kairo dan pada mulanya menjauhi persoalan-persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab. Di sanalaha ia memperlihatkan kuliah dan mengadakan diskusi. Menurut keterangan Muhammad Salam Madkur , para akseptor terdiri atas orang-orang terkemuka dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa dari Al-Azhar serta perguruan-perguruan tinggi lain, dan juga pegawai-pegawai pemerintah. Tetapi ia tidak usang sanggup meninggalkan lapangan politik. Di tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin meningkat.

Dari Mesir Afghani pergi ke Paris dan di sini ia dirikan perkumpulan Al-’Urwah Al-Wusqa dan dari sinilah konsepsi Pan Islamisme berdasarkan Afghani dituangkan. Adapun  anggotanya terdrii atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain. Di antara tujuan yang hendak dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Sewaktu di Eropa Afghani mengadakan negosiasi dengan Sir Randolp Churchil dan Drummond Wolf perihal masalah Mesir dan perihal penyelesaian pemberontakan Al-Mahdi di Sudan secara damai. Tetapi kedua usaha itu tidak membawa hasil.

Di tahun 1889 Afghani diundang tiba ke Persia untuk menolong mencari penyelesaian perihal persengketaan Rusia-Persia yang timbul lantaran politik pro-Inggris yang dianut pemerintah persia ketika itu. Afghani tidak oke dengan pemberian konsessi-konsessi kepada Inggris dan alhasil timbul pertikaian paham antara Afghani dan Syah nasir Al-Din. Di tahun 1896 Syah dibunuh oleh seorang pengikut Afghani. Atas undangan Sultan Abdul Hamid, Afghani selanjutnya pindah ke Istambul di tahun 1892. Pengaruhnya yang besar di banyak sekali negara Islam diharapkan dalam rangka pelaksanaan politik Islam yang direncanakan Istambul.

E.    Pemikiran Afghani: Pan Islamisme
Secara sederhana gerakan Pan Islamisme yaitu menegakkan kesatuan seluruh bangsa yang hidup dalam naungan Islam agar  dapat melepaskan diri dari kendali orang-orang gila dengan perekat ukhuwwah Islamiyah.

Pemikiran Afghani perihal Pan Islamisme ini berawal perjuangannya dari satu negeri ke negeri muslim lainnya, kemudian kepindahan Afghani dari Mesir ke London seterusnya ke Paris, telah membuat garis gres dalam perjuangannya, dari pembaharuan keagamaan dan kemerdekaan kepada kemerdekaan umat Islam secara global di banyak sekali negeri muslim. Gerakannya berubah berubah alih dari orientasi nasionalisme ke solidaritas internasional yang Islami.

Ada dua yang menjadi tumpuan pemikiran al-Afghni yang dimuat dalam al-Urwat al-Wusqa sebagai substansi Pan Islamisme : al-Wihdah al-Islamiyah (Kesatuan yang Islami) dan al-Wihdah wa al-Siyadah (kesatuaan Penguasaan).

Al-Wahidah Al-Islamiyah (Kesatuan yang Islami)
Mengenai kesatuan Islami, Afghani berkata :
           Bersatu dan saling membantu untuk mengokohkan kekuasaan Islam termasuk sendi utama bagi agama yang dibawah Nabi Muhammad SAW. Meyakini yang demikian merupakan prioritas dari sejumlah aqidah bagi umat Islam. Untuk ini  tidak dibutuhkan  kitab atau guru untuk memahaminnya. Sesungguhnya para pemimpin Islam akan sesak nafasnya, berurai air matanya, lantaran sedih dan sedih menyaksikan terjadinya perpecahan pendapat dan saling berkelahi antara sesame Muslim. Jika tidak lantaran kecurangan penguasa yang amat rakus berebut kekuasaan, tentulah Barat dan Timur, Utara dan Selatan akan bersatu, semua akan menyambut permintaan bahwa umat Islam tidak membutuhkan apapun kecuali membangunkan pemikiran mereka semoga mengetahui apa yang harus dibela. Barsatu pendapat dalam melaksanakan pendapat tersebut, adanya ikatan yang dinamis, terhindar dari gejolak-gejolak yang berbahaya terhadap agama.”

Dalam keterangan di atas terlihat terang bahwa kesatuan yang dimaksud yaitu kesatuan dalam kontek politik. Senada dengan keterangan tersebut Afghani mencontohkan tidak bersatunya Afghanistan dengan Iran dalam menghadapi Rusia, Jika Iran dan Afghanistan bersatu tentu akan menang dengan menghadapi Rusia, meskipun dibantu oleh India dan Inggris.

Jadi yang dimaksudkan Afghani al-wahidah al-Islami yaitu kesatuan idiologi yang mendasari politik dan kekuasaan pemerintahan Islam. Idiologi dasar itu yaitu al-Quran, ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan politik dan kekuasaan harus dipegang sebagai teori yang mesti diterapkan dalam kehidupan jikalau ingin sukses dan menang menghadapi musuh-musuh Islam.

Selain itu Afghani juga menggambarkan kesatuan Islam yang ideal yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, oleh lantaran itu Afghani berbagi pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk sanggup memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada pemikiran Islam yang masih murni menyerupai yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh.

Pemikiran Afghani perihal salafiyah ini terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama, keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud kalau umat Islam kembali kepada pemikiran Islam yang masih murni, dan meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua, perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ketiga, legalisasi terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus mencar ilmu dari barat dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia Islam.

Al-Wahidah As-Siyadah (Kesatuan Pemerintahan/Kekuasaan)
Sejalan dengan konsep kesatuan yang Islami, Afghani menyatakan pandangannya bahwa antara kesatuan dan kekuasaan merupakan dua hal yang tidak sanggup dipisahkan. Kesatuan  kekuasaan merupakan simpulan kebutuhan yang mendesak disatu pihak an suatu hidayah agama dipihak lain.

Artinya kesatuan sebagai sesuatu yang dituntut agama membutuhkan kekuasaan yang akan memperjuangkan, alasannya kesatuan itu sendiri tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Tanpa adanya kekuasaan yang sanggup mengatasi keadaan dan mengiringnya kepada kesatuan.

Pemikiraan Afghani menggambarkan keadaan umat Islam ketika itu, di banyak sekali negeri terjebak pada pandangan yang membuat umat ini apatis dan statis, selain terpecah belah. Kondisi demikian tidak menguntungkan bagi perubahan suatu bangsa. Keadaan umat Islam tidak aman untuk upaya politis menghadapi imperialisme, sebelum umat ini diingatkan kepada kesatuan dan kekuasaan yang menjadi langkah awal gerakan Pan-Islamisme. Oleh alasannya itu Afghani menjelaskan dua langkah awal dalam mempersiapkan umat Islam dalam menyambut gerakan Pan Islamisme, yaitu 1) Penyadaran. Setiap individu diberikan penyadaran perihal pentingnya kesatuan pendapat. Penyadaran ini dianggap berhasil jikalau setiap individu mencicipi kesatuan itu sebagai suatu yang enak. 2) Motivasi. Jika penyadaran telah tertanam, akan terlihat pada meraka sebuah motivasi, harapan yang tinggih, kepribadian yang jelas, dorongan yang kuat dan tekad yang lingkaran yag dibutuhkan bagi suatu kekuasaan dan kemenangan.

Menyadari sulitnya menyatukan umat Islam dalam bingkai Pan Islamisme, terutama perpecahan dalam bentuk mahzab suni-syiah. Afghani berkata:

          “Saya tidak bermaksud dengan ucapan saya ini bahwa penguasa untuk semuanya yaitu seorang, hal ini mungkin sulit dilaksanakan, tetapi yang saya harapkan  adalah bahwa sultan  (penguasa) umat ini yaitu al-Quran. Orientasi kesatuan mereka yaitu agama Islam. Setiap raja yang ada di wilayah kekuasaannya berusaha sungguh-sungguh menjaga kerajaan Islam yang lain semampunya. Yang lain itu hidup bersama dengan kelanggengannya. Kecuali hal itu merupakan asas dalam agama, ia akan menjadi keputusan di waktu darurat dan menjadi penentu kebutuhan masa kini. Inilah masanya kesepakantan itu."

Sejalan dengan pernyataan tersebut  Muhammad Abduh menjelaskan, konsep Pan Islamisme yang diseruhkan oleh Afghani yaitu dalam rangka memudahkan bangsa-bangsa Muslim melepaskan diri dari kendali asing. Afghani menempatkan posisi yang pas memakai ukhuwah Islamiyah dan iman kepada al-quran  dalam menjembatani perbedaan mahzab suni-syiah, serta meminimalisir konflik kepentingan antar sultan.  

Sealian itu Majid Fakhri menambahkan, awalnya Afghani menginginkan kekhalifaan terpadu, kesatuan kekuasaan umat muslim, namun lantaran adanya perbedaan pandangan dengan Khalifah Turki Usmani yaitu Khalifah Abdul Majid, sehinggah Afghani mengalihkan keinginannya kepada kesatuan jiwa (The World Spirit) yang nantinya disebut nasionalisme agama disamping nasionalisme tanah air.      

F. Kesimpulan
Keseluruhan keterangan di atas mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwasanya. Konsep pemikiran Afghani bermula dari perjalanan panjang dalam menyerukan perubahan diberbagai negeri Islam, yang umumnya memiliki permasalahan umum, yaitu mengalami penjajahan, keterbelakangan pendidikan serta dekadensi akidah.

Awalnya Afghani memperjuangkan nasionlisme tanah air (bersifat kedaerahan) kemudian bermetamorfosis Pan Islamisme (Jamia Islamiyah) yang berasaskan pada kesatuan politik dan kekuasaan, namun alhasil Pan Ismiyah ditujukan pada nasionalisme agama dan nasionlisme tanah air.

Sumber
Nawawi,Showan. Jamaluddin Al-Afghani Pelopor Pan Islamisme. Pustaka Tarbiatuna.Jakarta 2003











Belum ada Komentar untuk "✔ Jamaluddin Afghani: Konsep Pedoman Pan Islamisme"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel